Kamis, 24 Oktober 2013
Peluang Budidaya Buah Manggis Monokultur
Sebagai buah tropis paling eksotis yang digemari masyarakat sub tropis, dengan cepat budidaya manggis berkembang di luar kawasan habitat aslinya. Manggis yang asli Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Maluku itu, dengan cepat dibudidayakan Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Vietnam, Filipina, Srilanka dan India. Belakangan manggis juga berkembang di Australia Tropis, Amerika Latin, Amerika Tengah, Florida, Hawaii dan juga di Afrika Tropis. Di Asia Tenggara sendiri, Indonesia ketinggalan jauh dibanding dengan Malaysia, Thailand dan Vietnam dalam membudidayakan manggis secara monokultur (hanya manggis saja). Meskipun Thailand sebenarnya mulai membudidayakan manggis dengan serius secara tidak sengaja.
Tahun 1980an, masyarakat sub tropis mulai tertarik terhadap manggis. Terutama, MEE, Korea dan Jepang. Hingga harga manggis di pasar internasional mendadak naik tajam. Secara kebetulan pula, durian monthong yang dibudidayakan secara monokultur di Thailand banyak yang terserang hama penggerek batang, yang belanjut ke infeksi sekunder oleh phytoptora. Petani durian Thailand lalu menanam manggis di bekas tanaman durian yang mati tadi. Karena harga manggis semakin membaik, bahkan lebih tinggi dibanding durian, maka makin banyak petani yang menanam manggis di sela-sela durian. Akhirnya, petani Thailand berani menanam manggis secara monokultur.
Malaysia, Vietnam, India dan Australia juga mengikuti jejak Thailand, membudidayakan manggis secara monokultur. Sementara negara-negara di kawasan tropis di Amerika dan Afrika juga mengembangkan komoditas ini dengan cukup intensif. Indonesia, justru masih mengandalkan tanaman manggis di kebun rakyat. Populasi tanaman manggis rakyat memang cukup banyak. Namun tempatnya terpencar-pencar dan sama sekali tidak terawat dengan baik. Dengan tanaman seperti itu pun, kita sudah bisa ekspor. Apalagi kalau kita kembangkan kebun manggis monokultur secara intensif. Namun sampai dengan saat ini, kita masih lebih banyak berdebat tentang mana yang lebih unggul. Benih sambungan (okulasi), atau asal biji.
Manggis (Garcinia mangostana), adalah tumbuhan dengan sifat ultra-tropical. Tumbuhan dengan sifat ini, mutlak memerlukan suhu udara hangat, dengan curah hujan dan tingkat kelembapan udara tinggi. Dari berbagai penelitian, manggis akan mati dalam suhu udara di bawah 4 oC. Di persemaian, manggis bahkan sudah tidak tahanlagi pada suhu 7 oC. Sebaliknya, pada suhu udara 37 oC, manggis juga tidak bisa tahan hidup. Karakter tanaman manggis yang ultra-tropical mengakibatkannya tidak mungkin dikembangkan di kawasan sub tropis dan gurun. Beda dengan mangga, yang mampu beradaptasi dengan kawasan gurun (Meksiko, Mesir) dan kawasan sub tropis (Australia).
Ada perbedaan pendapat antara para ahli, apakah manggis terdiri dari beberapa varietas atau merupakan varietas tunggal. Di kepulauan Sulu misalnya, diketemukan manggis dengan ukuran buah lebih besar, kulit buah lebih tebal dan buah berasa masam. Di Serawak, diketemukan manggis dengan segmen buah selalu empat, sementara di Semenanjung Malaysia, diketahui ada tanaman yang buahnya selalu tanpa biji (seedless). Ini semua menjadi alasan bagi beberapa ahli untuk mengklaim bahwa ada varian pada spesies manggis. Sebaliknya para ahli lain menolak klaim ini, dengan alasan bahwa biji manggis bukanlah biji hasil persarian (generatif), melainkan biji vegetatif.
Yang disebut biji vegetatif, sebenarnya adalah “embrio”. Karenanya, biji manggis tidak memiliki waktu dorman (istirahat). Kalau biji sudah dikeluarkan dari daging buah, maka daya kecambahnya hanya akan bertahan selama lima hari. Kalau masih berada dalam buah, biji manggis mampu bertahan antara tiga sampai dengan lima minggu. Hingga biji yang sudah dibersihkan dari sisa daging buah, harus segera disemaikan. Dalam satu buah manggis, paling banyak hanya akan ada dua biji yang layak semai. Selebihnya, segmen buah itu sama sekali tidak berbiji, atau berbiji tetapi tidak tumbuh sempurna. Hanya biji sempurnalah yang layak semai. Daya tumbuh biji manggis juga sangat rendah, yakni hanya sekitar 25% dari total biji yang disemai.
Karena bukan hasil persarian atau biji generatif, maka pertumbuhan tunas dan akar manggis sangat unik. Biji tumbuhan pada umumnya, baik yang dikotil maupun monokotil, selalu dilengkapi dengan keping biji dan lembaga. Keping biji tumbuhan dikotil, akan langsung menjadi daun perdana. Sementara lembaganya sudah dilengkapi dengan bakal batang, akar dan daun. Biji manggis adalah hipokotil dan tidak berlembaga. Tunas pucuk akan tumbuh pada salah satu ujung biji, sementara akar perdana akan tumbuh pada ujung lainnya. Namun akar perdana ini akan segera mati, dan digantikan oleh akar yang tumbuh pada pangkal tunas. Selanjutnya, tanaman manggis akan tumbuh normal, namun dengan tingkat pertumbuhan akar yang sangat lamban.
Pertumbuhan akar yang sangat lamban, telah menjadi kendala tersendiri bagi budidaya manggis secara monokultur, dengan skala komersial. Sebab tanaman manggis asal biji, baru akan berbuah setelah umur di atas 10 tahun. Di alam, tanaman manggis malahan baru bisa mulai berbuah pada umur 15 tahun. Upaya menyambung manggis secara grafting dengan batang bawah spesies Garcinia lainnya, tidak pernah berhasil dengan baik, sebab sambungan tidak “kompatibel”. Menyambung dengan pohon pangkal sesama manggis, bisa kompatibel, namun tetap tidak mampu mamacu pertumbuhan. Malahan tanaman manggis akan menjadi kerdil. Kalau tanaman manggis asal biji umur 5 tahun sudah bisa mencapai ketinggian 10 m, manggis sambungan baru 3 m.
Kendala pertumbuhan manggis sambungan yang lamban ini, bisa diatasi dengan penanaman jarak rapat. Sebab pada umur tanaman 3 tahun, manggis sambungan sudah mampu berbuah. Dengan penanaman jarak rapat, produktivitas tanaman per satuan luas, tetap akan sama tinggi, dibanding dengan areal sama dengan tanaman asal biji. Kelebihan kebun manggis monokultur dengan benih sambungan adalah, penanganannya mudak karena tanamannya pendek-pendek. Kendalanya adalah, tetap ada kesulitan untuk menghasilkan benih manggis sambungan secara massal. Sebab sambung pucuk dengan batang bawah sesama manggis, meskipun secara teknis sudah berhasil dilakukan, aplikasinya di lapangan tetap masih terkendala.
Beberapa petani Thailand, Australia, Indonesia, negara-negara Amerika dan Afrika Tropis, kemudian mencoba menanam manggis secara massal dengan biji yang ditanam langsung di lapangan. Namun sebelumnya, para petani ini telah menanam pohon pelindung. Dengan cara penanaman biji langsung di lapangan, maka tidak akan terjadi stagnasi pertumbuhan akibat pemindahan dari polybag tempat penyemaian, ke lokasi penanaman. Setelah tanaman tumbuh, dilakukan pemupukan dan pengairan intensif. Dengan pola penanaman demikian, pada umur lima tahun sejak penyemaian, tanaman sudah mampu berbuah, dengan ketinggian dan tajuk normal. Cara inilah yang kemudian paling banyak dilakukan oleh para petani manggis di banyak negara.
Di Florida, AS, petani mencoba inovasi baru bukan dengan sambung pucuk, melainkan sambung akar antara benih manggis biasa (Garcinia mangostana), dengan Garcinia xanthochymus. Caranya, mereka menyemai biji manggis biasa dan biji Garcinia xanthochymus, secara bersamaan. Penyambungan dilakukan dengan teknik penyusuan pada pangkal batang, sekitar 10 cm di bawah permukaan media. Setelah sambungan menempel, batang Garcinia xanthochymus, dipotong. Benih manggis tersebut lalu punya dua “kaki”. Meskipun pertumbuhan akar Garcinia xanthochymus, juga sangat lamban, namun dengan dua kaki tersebut pertumbuhan manggis selanjutnya akan lebih pesat dibandingkan dengan benih biji yang tanpa sambungan.
Tahun ini, hasil panen manggis melimpah luarbiasa. Biasanya manggis tidak terlalu dominan di kakilima DKI Jakarta. Namun tahun ini di mana-mana kita melihat untaian manggis atau onggokan dalam net plastik @ 1 kg. Harga manggis kemasan di kakilima ini, masih Rp 5.000,- per ikat/kantung. Isinya antara 7 sd. 10 butir per kemasan. Di toko buah dan pasar swalayan, harga manggis kiloan masih berkisar antara Rp 6.000,- sd. Rp 10.000,- per kg. tergantung kualitasnya. Dengan panen yang demikian melimpah,tentu banyak buah yang tak layak makan, namun masih layak untuk diambil bijinya guna dijadikan benih. Istilah di kalangan penangkar, benih demikian disebut sebagai “benih sapuan”. Kualitas benih sapuan, tentu tidak sebaik benih dari buah kualitas baik.
Sebenarnya, ada cara lain untuk memproduksi benih dengan cara lebih profesional, tetapi juga dengan biaya lebih murah. Caranya dengan mendatangi sentra-sentra manggis, kemudian memborong buah di sentra tersebut. Meskipun kita tidak mungkin membeli buah yang masih ada di pohon secara langsung dari petani. Sebab di sentra manggis tersebut, semua pohon manggis sudah dikuasai oleh tengkulak. Berhubungan dengan tengkulak di sentra manggis pun, masih mampu memperoleh harga jauh di bawah harga di Pasar IndukKramat Jati, jakarta. Dipotong biaya angkut, dan lain-lain, jatuhnya harga per kg. manggis hanya sekitar Rp 2.000,- sd. Rp 3.000,- per kg. Kalau tiap kg. manggis isi 7 – 10 butir buah dan tiap buah rata-rata ada dua biji layak semai, maka nilai biji manggis itu rata-rata Rp 150,- per butir.
Nilai biji tersebut, masih belum memperhitungkan biaya pengupasan, namun juga tanpa memberi nilai pada daging buah. Buah manggis tidak mungkin dijual setelah dikupas. Padahal tidak mungkin memaksa para pengupas manggis, untuk memakan habis semua daging buah yang dikupasnya. Solusinya, daging buah itu dijadikan jus atau diperas untuk diambil airnya, hingga menjadi sirup manggis. Kandungan daging buah manggis per 100 gram adalah karbohidrat 6-20 g, lemak 0.1-1 g, protein 0.6 g, serat 5.0-5.1 g, abu 0.2-0.23 g, kalsium 7-11 mg, fosfor 4-17 mg, potassium 19 mg, zat besi 0.2-1 mg, vitamin A 14 IU, vitamin B1 0.03 mg, vitamin B2 0.03 mg, niacin 0.3 mg, vitamin C 4.2-66 mg, thiamine 0.03 mg, asam ascorbic 1.0-2.0 mg.
Sumber :
http://foragri.wordpress.com/2011/05/02/peluang-budidaya-manggis-monokultur/
Label:
buah,
budidaya,
manggis,
monokultur,
peluang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar